Bermula dari keinginan Gubernur Jenderal Van Den Bosch untuk menerapkan tanam paksa kopi di Ranah Minang pada tahun 1840, menyusul keberhasilan di tanah jawa 10 tahun sebelumnya.
Kopi (kawa) adalah komoditi bernilai tinggi di Eropa sehingga keuntungan yang diraup sungguh luar biasa bagi Belanda. Dikarenakan harganya yang tinggi itu, semua biji kopi (kawa) harus diserahkan ke Gudang kopi alias
Koffiepakhuis tanpa boleh tercecer sebijipun. Lalu muncul sebutan pakuih kopi bagi pegawai pribumi yang mengurus gudang kopi ini dan berimbas merekapun ikut menjadi makmur sejahtera.
Tapi malang bagi masyarakat Minangkabau pada kebanyakanya, mereka hanya boleh menanam saja tanpa boleh mencicipi rasa minuman kopi yang diolah dari bijinya. Kopi bagaikan minuman para dewa yang tak terjangkau oleh rakyat biasa. Tapi menurut pepatah minang
tak kayu janjang dikapiang, tak ameh bungka diasah, maka timbulah ide kreatif membuat minuman dengan menyeduh daun kopinya saja demi dapat mencicipi rasa kopi yang harum itu.
Penderitaan ini berakhir pada tahun 1908, ketika tanam paksa kopi diganti dengan penerapan
belasting atau pajak, namun tradisi minum air daun kopi
(kawadaun) ternyata tidak ikut berhenti, mungkin dikarenakan sudah menjadi kebiasaan yang berlangsung lebih dari 60 tahun lamanya.
Maka untuk menjaga dan melestarikan minuman ber-sejarah rakyat Minangkabau,
pampalassa menghadirkan minuman
Minuman Ber-sejarah ranah Minang